Melawan Ideologi?

Categories:
Localizations:

Pada Mei lalu, seorang anggota CrimethInc. diundang untuk berbicara tentang The End of Ideology and the Future Events dalam sebuah panel di Festival Babylonia 2010 di Athena, Yunani. Kami telah memoles catatan dari diskusi itu menjadi teks yang mengeksplorasi apa itu ideologi, apa maksud dari menentang ideologi, dan apa yang bisa menggantikan ideologi sebagai fondasi untuk perlawanan.

Di saat fundamentalisme religius masih menjadi gerakan yang sangat kuat, ideologi tampaknya mengalami penurunan kekuatan sebagai motor dari gerakan revolusioner yang bersifat sekuler. Ada saat-saat yang cukup panjang di masa lalu ketika kelompok-kelompok seperti Partai Komunis mampu memerintahkan jutaan pengikutnya di seluruh dunia. Haruskah para anarkis merayakan kemunduran ini, memposisikan diri kita di atas segala gelombang yang saling bertubrukan di dalam sejarah? Apakah ideologi itu sendiri adalah masalahnya?

Namun apakah yang diartikan dengan melawan ideologi? Untuk mencapai dasar dari masalah ini, kita harus mengerti dengan tepat tentang apa yang kita maksud dengan ideologi itu sendiri.

Permasalahan ini telah diperkeruh oleh banyak marxis yang ada sebelum kita. Marx menegaskan bahwa ideologi ditentukan oleh siapa yang mengontrol proses produksi, dan hal itu berfungsi untuk membutakan proletariat terhadap eksploitasi yang mereka alami. Namun bukankan ideologi Marxisme itu sendiri juga telah membutakan jutaan orang? Dan bagaimana mungkin asumsi akan produksi yang didasarkan pada relasi kelas seperti yang telah dikemukakan oleh teori Marx cukup untuk menjelaskan perkembangan dari berbagai hal yang terjadi selama abad ke 20? Jika beberapa pengikut Marx telah berusaha untuk mengembangkan analisisnya agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dunia yang nyatanya tidak pernah tepat seperti prediksi Marx, kita seharusnya curiga terhadap mereka, seperti kita juga harus curiga terhadap semua ideolog.

Merupakan suatu hal yang mudah untuk melihat bahaya yang tersembunyi di dalam ideologi ketika kita menguji dogmatisme yang ada pada musuh kita. Namun walaupun ideologi adalah hal yang biasa kita sebut sebagai ide-ide dari mereka yang tidak kita sepakati, kita juga harus mampu untuk mengkritisi ide-ide yang ada dalam diri kita sendiri.

Namun, apakah ideologi itu?

Sifat dasar ideologi masih menjadi suatu tanda tanya besar bagi para anarkis kontemporer: kita tahu bahwa kita melawan hal ini, namun kita tidak dapat benar-benar mendefinisikannya pengertiannya dengan jelas.

Misalnya saja, kolektif CrimethInc telah berjuang dengan hal ini selama satu setengah dekade. Di awal-awal dalam buku Days of War, Nights of Love, kritik tersebut dirangkum dalam sebuah slogan seperti, “Apakah kamu yang memiliki ide-ide, atau ide-ide tersebut yang memilikimu?” Dalam sebuah tinjauan kembali, perumusan tersebut menganggap adanya pemisahan antara diri seseorang dan ide-ide yang dimilikinya, yang mengandaikan adanya sebuah diri esensial yang mendahului konstruksi ideologis. Setelah itu dalam buku Expect Resistance, CrimethInc. mencoba pendekatan lain: “Ketika kita mencoba untuk memberontak melawan keterbatasan yang diakibatkan oleh kultur, kita menyebutnya sebagai ‘ideologi’ … namun kita tidak bisa lolos dari kultur itu sendiri—kita membawanya bersama diri kita selagi melarikan diri.” Pernyataan ini merupakan analisis yang lebih hati-hati, namun ini tidak juga menjelaskan bagaimana kita mampu untuk melawan batasan-batasan tersebut.

Ada orang lain yang mampu menjelaskannya dengan sedikit lebih baik. David Graeber, yang diwawancarai oleh Void Network untuk Koran Babylonia, tanpa pikir panjang mendefinisikan ideologi sebagai “ide yang seseorang butuhkan untuk membangun sebuah analisis global sebelum mengambil suatu tindakan (dan pengertian ini tidak terelakkan mengarah pada asumsi bahwa seorang vanguard intelektual wajib mengambil peran kepemimpinan di semua pergerakan politis popular). Hal ini dirasa sebagai pengertian yang terlalu spesifik. Di sisi lain, dalam buku Traité de Savoir-Vivre à l’Usage des Jeunes Générations, Raoul Vaneigm memasukkan “individualisme, alkoholisme, kolektifisme, aktivisme” dalam suatu jangkauan di antara berbagai ideologi-ideologi yang mungkin. Berbagai definisi yang encakup semua hal ini tentunya masihlah terlalu luas.

Jika merujuk pada kamus, ideologi adalah “Sebuah sistem ide-ide dan ideal, terutama yang membentuk basis ekonomi/teori politik dan kebijakan.” Berdasarkan definisi tersebut, tampaknya sulit untuk menguraikan sebuah oposisi anarkis terhadap ideologi: jika kita menyatakan diri kita melawan sistem ide-ide dan ideal, bagaimana bisa kita menegakkan sebuah kritik terhadap hierarki dan opresi? Lebih buruk lagi, pada dasar apa kita bisa melawan sistem itu, tanpa mengadopsi sistem tersebut pada diri kita sendiri? Karena itulah mari kita mendekati permasalahan ini dari arah yang berbeda, memperbesar kemungkinan daripada membuat teritori tertentu, dengan harapan agar kita mampu membuat kemajuan tanpa merencanakan sebuah cetak biru ideologis untuk melawan ideologi.

Apa yang dimaksudkan dengan melawan ideologi?

Jika ideologi ditandai sebagai sesuatu yang berawal dari sebuah jawaban atau kerangka konseptual, serta usaha untuk bekerja dari titik tersebut, maka satu cara untuk menentang ideologi adalah dengan mengawali sesuatu lewat pertanyaan daripada jawaban. Karenanya ketika kita berkecimpung dalam suatu konflik sosial, lakukan hal tersebut untuk menghadirkan pertanyaan-pertanyaan daripada sekedar kesimpulan semata.

Apakah yang mampu menciptakan serta mendefinisi suatu pergerakan, jika bukan pertanyaan-pertanyaan? Jawaban dapat mengalienasi dan membakukan, namun pertanyaan mampu menggodamu. Sekali seseorang terpikat pada sebuah pertanyaan, ia akan berjuang sepenuh dirinya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertanyaan mendahului jawaban dan mampu hidup lebih lama dari jawaban-jawaban; setiap jawaban hanya terus-menerus menghidupkan pertanyaan yang diturunkannya.

Istilah anarkisme itu sendiri berguna bukan karena ia adalah sebuah jawaban, namun karena ia adalah sebuah pertanyaan—karena ia lebih efektif daripada istilah-istilah lainnya (kebebasan, komunitas, komunisme) dalam menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang ingin kita tanyakan. Apa yang diartikan dengan hidup tanpa hierarki, atau berjuang melawannya? Satu kata ini menawarkan titik keberangkatan yang tiada habisnya, misteri-misteri yang tak berujung.

Mungkin perjuangan anarkis adalah sebuah usaha untuk membuat suatu program yang nyata, untuk menggapai sebuah tujuan yang telah dipilih dari awal—ini adalah cara ideologis untuk mewujudkan proyek kita. Namun mungkin utopia ini tidak tergapai, dan signifikansi nyatanya adalah bahwa hal ini berperan sebagai sebuah kekuatan pemotivasi yang memungkinkan kita untuk hidup secara berbeda di saat ini. Jika inilah nilai sejati dari berbagai program utopis, semakin mereka tidak dapat dicapai maka akan semakin baik.

Namun apa lagi yang dapat diartikan dengan menentang ideologi?

Mungkin ini berarti dengan menolak konsepsi Platonik akan pengetahuan, yang merujuk pada suatu “realitas sejati di luar sana” yang lebih berarti daripada pengalaman yang kita hidupi di sini. Mereka yang menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari dan mengkonstruksikan teori seringkali salah mengartikan abstraksi mereka terhadap fenomena dunia nyata, ketika nyatanya abstraksi tersebut hanyalah generalisasi yang disimpulkan dari pengalaman individual. Menilai suatu ketidakterbatasan yang tidak bisa direduksi dari hidup kita sendiri di atas petunjuk kemalasan orang mati, dan mengetahui daripada mempercayai bahwa kita sempurna, kita harus menyusun ide-ide kita sebagai hipotesis daripada sebagai prinsip-prinsip universal. Hipotesis dapat diuji, diperbaiki, dan diuji kembali secara terus-menerus. Dengan cara itu, maka anarkisme sendiri hanyalah suatu generalisasi yang luas, sebuah hipotesis bahwa hidup akan lebih kaya tanpa hierarki.

Mungkin melawan ideologi berarti berhenti untuk menganggap ide-ide kita sebagai suatu kepemilikan yang terpisah dari cara yang kita mampu untuk menghadirkannya sebagai suatu tindakan. Selama masa puncak dalam perjuangan, orang-orang cenderung untuk berfokus pada pertanyaan-pertanyaan praktis, dan teori menubuh dalam tindakan sehari-hari; selama masa-masa kekalahan, teori cenderung untuk menjadi terpisah dari aktifitas, menjadi sebuah bidang yang terspesialisasikan. Dalam sebuah kekosongan, perluasan dari teori dapat menjadi suatu aktivitas pengganti, untuk mengkompensasikan semua itu seseorang tidak bertindak, namun justru membiasakan seseorang untuk berpikir daripada bertindak—seakan-akan kedua hal itu dapat dipisahkan! Demikianlah ideologi menjadi perpanjangan ego dari mereka yang meyakininya, yang membenturkan ideologi yang satu dengan lainnya seperti musuh dalam sebuah perkelahian yang sengit.

Mungkin melawan ideologi berarti berusaha untuk melakukan sesuatu tanpa penilaian dan pembedaan yang biner. Daripada mengambil posisi untuk mengadopsi atau menentang berbagai kategori tertentu—“organisasi siswa,” “reformisme,” “kekerasan,” bahkan “ideologi”—kita bisa melihat setiap hal ini disusun oleh berbagai tendensi dan arus yang saling berkonflik. Dari sudut pandang ini, peran dari teori bukanlah untuk membenarkan atau menyalahkan sesuatu, namun untuk mempelajari berbagai dorongan yang saling mempengaruhi suatu masalah agar kita dapat menyusun tindakan yang strategis.

Mampukah kita membayangkan untuk menentang ideologi dalam cakupan yang lebih konkrit—misalnya, saat kita harus melakukan pengorganisiran dan upaya menjangkau keluar (outreach)? Mungkin ini berarti tidak memposisikan diri kita dalam sebuah kelompok yang berideologi tertentu, namun berfokus untuk mendestabilisasikan wilayah sosial yang telah eksis: menciptakan koneksi-koneksi baru dan mensirkulasikan energi subversif ketimbang berusaha untuk menggenggam teritori tertentu. Para anarkis yang melakukan pendekatan ini mengarahkan perhatian mereka keluar dari komunitas anarkis, mendekati orang-orang dalam komunitas lain daripada mendebatkan hal-hal tertentu dengan mereka yang memiliki pemahaman serta bahasa teoritis yang sama. Tentu saja kita tidak dapat mengharapkan orang lain untuk beranjak dari zona kenyamanannya jika kita sendiri tidak memulai untuk melakukan hal tersebut.

Konsekuensi yang wajar dari hal ini adalah bahwa mereka yang berada di tengah transformasi adalah ahli yang sebenarnya pada hal perubahan sosial, bukan seorang radikal berkarier yang hanya berada dalam posisi yang itu-itu saja dari dulu. Jikalau begitu, maka yang terakhir harus mengikuti pimpinan mereka, bukannya dengan cara yang lain. Dan jelas, menentang ideologi berarti mempertimbangkan taktik dan strategi habitual, secara konstan menguji diri dan pemahaman kita sendiri, serta tidak menjadi terlalu silau dengan suara kita sendiri.

Dan selain ideologi?

Tentu saja sebuah pengingkaran total akan ideologi tidak dapat dipertahankan begitu saja—sebuah ide yang mengisyaratkan suatu “sistem ide-ide dan ideal.” Ideologi bukanlah sesuatu yang dapat kita lepaskan atau buang; yang terbaik adalah, kita dapat memelihara sebuah kecurigaan yang sehat terhadap ide-ide dan ideal yang kita miliki. Keinginan untuk benar-benar melawan atau berada di luar ideologi dapat menjadi berbahaya, pertama karena hal itu menciptakan ilusi bahwa seseorang tidak membutuhkan kecurigaan tersebut. Menegaskan bahwa semua orang adalah ideolog yang memperdaya dirinya sendiri adalah sebuah indikasi yang baik bahwa kamu juga menjadi bagian dari orang-orang tersebut, tak peduli apakah kamu seorang marxis garis keras ataupun seorang nihilis apolitis.

Mereka yang menyatakan menolak ideologi secara keseluruhan seringkali berakhir dengan mengglorifikasikan aktifitas tertentu yang dimaksudkan sebagai komitmen politis—misalnya saja, vandalisme dan kekerasan terhadap figur kekuasaan. Namun dengan memisahkan diri dari segala program politis, tidak ada jaminan bahwa hal ini dapat menciptakan konsekuensi yang membebaskan; hanya mereka yang hidup jauh dari Kosovo dan Palestina yang dapat menyatukan segala aktivitas tersebut dengan perlawanan terhadap hierarki. Kebanyakan dari mereka yang bertindak seperti ini tetap memiliki keyakinan politis tertentu, tak peduli apakah mereka mengakuinya atau tidak.

Retorika yang dibesar-besarkan tentang yang hal yang tidak dikenal (atau “menghancurkan dunia”) sekalipun, kita hanya mampu mendasarkan perlawanan pada sebuah keadaan yang kita tahu. Jika hal yang tidak diketahui itu sendiri (atau total destruksi) adalah satu-satunya tujuan kita, bagaimana mungkin kita tahu darimana untuk memulai? Alangkah lebih baik untuk mengenali ide-ide dan ideal yang membentuk keputusan kita.

Ideologi—ataupun ide-ide, ideal, nilai, makna—dibentuk melalui proses sosial. Dari saat kita lahir, hal tersebut mengkonstruksikan diri kita, lalu kita mengkonstruksikan, dan kembali merekonstruksikannya. Inilah proses yang tak terhindarkan dari eksistensi kita sebagai makhluk sosial. Anarkisme mengemukakan bahwa kita mampu berpartisipasi dalam proses ini dengan sengaja, secara kolektif memproduksi nilai dan makna, dan dengan demikian: diri kita sendiri. Esensi dari determinasi-diri bukanlah sesederhana sebagai kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan bagi diri kita sendiri, namun juga untuk membuat diri kita sendiri dalam proses hidup. Memenangkan kekuatan ini adalah suatu usaha yang lebih penting daripada sekedar memenangkan setiap pertempuran yang dapat dipertarungkan di jalanan.

Kapitalisme eksis dengan menghidupkan dirinya terus-menerus tanpa ideologi: hal ini memberikan kesan bahwa kapitalisme tidak membutuhkan orang-orang untuk percaya padanya, selama mereka telah berpartisipasi dalam kapitalisme untuk bertahan hidup. Jangan kita lupakan juga bahwa jutaan orang

dalam “Dunia Baru” dan di tempat lain telah memilih untuk berjuang dan mati daripada harus bertahan dalam dunia seperti ini, tanpa peduli kenyamanan apa pun yang ditawarkan oleh peradaban barat pada mereka. “Kebutuhan material” yang mengendalikan sistem ini juga diproduksi melalui proses sosial: seseorang harus menginternalisasikan suatu kadar materialisme tertentu dalam sudut pandang kapitalisme untuk mengadopsi materialisme dari sudut pandang marxis.

Jadi mungkin kita dapat menyusun proyek kita dalam suatu kerangka nilai-nilai daripada kerangka ideologi. Kita tidak sedang mencoba untuk mempropagandakan terlalu banyak sistem ide-ide tertentu untuk membantu perkembangan hasrat anti-autoritarian. Dengan memulai dari apa yang kita inginkan daripada apa yang kita percaya, kita dapat menghindari bahaya yang tersembunyi dalam dogmatisme dan menemukan penyebab umum dari suatu permasalahan bersama orang-orang lainnya yang mampu melampaui teori apa pun.

“Aku menyatakan melawan dogmatisme, karena meskipun diriku tetap kukuh dan yakin terhadap apa yang aku mau, aku selalu meragukan apa yang aku tahu.”

-Errico Malatesta

Bacaan Sebelumnya: